Senin, 14 April 2014

kaidah-kaidah fiqh tentang politik/siyasah/kekuasaan


Makalah                      diajukan sebagai bahan presentasi tugas Mata Kuliah Ilmu Qowaid wa Nazhairiyat                              di bawah Bimbingan                         Prof.  Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA.
KAIDAH FIQHYAH
  تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ  DAN                                  
الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّة


OLEH :                                                                    UJANG FIRMANSYAH                                                   NIM. 2.213.5.011

      UNIVERSITAS  ISLAM  NEGERI                                   SUNAN  GUNUNG  DJATI BANDUNG                                 PROGRAM  PASCA  SARJANA

2014 M / 1435 H







PENDAHULUAN

kaidah-kaidah fiqh merupakan hal yang penting dalam menentukan sebuah hukum. Kaidah-kaidah ini disusun oleh para ulama secara praktis disertai contoh-contoh untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan melakukan penetapan bahkan mengambil keputusan hukum dengan cepat dan tepat. Dua kaidah fiqh yang menjadi topik pembahasan dalam makalah ini adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqh tentang politik/siyasah/kekuasaan. 

Kaidah Fiqhiyah
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Makna Kaidah   تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Secara bahasa تَصَرُّفُ  berarti Tindakan [1], kebijakan [2] , atau kebijaksanaan [3]. مَنُوْطٌ  berarti berkaitan, dihubungkan[4] ,  bergantung [5], atau “berorientasi kepada” [6]. الْمَصْلَحَةِ berarti kemaslahatan, kepentingan. Sama pengertiannya dengan الفائدة  yang berarti faedah atau kemanfaatan [7].
Kata  الْمَصْلَحَةِ berasal dari حﻼﺻ dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. adalah  mashdar  dengan  arti  kata  shalāh  yaitu  manfaat”  atau  “terlepas  dari padanya kerusakan. [8]
Kata  maslahah  ini pun  telah  menjadi  bahasa  Indonesia  yang  berarti “Sesuatu yang mendatangkan kebaikan“.[9]  Adapun pengertian maslahah dalam bahasa  Arab  berarti  “perbuatan-perbuatan  yang  mendorong  kepada  kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,  baik  dalam  arti  menarik  atau  menghasilkan  seperti  menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah [10].
Dengan demikian, arti secara bahasa dari kaidah di atas adalah “Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
Dan pengertian secara istilah dari kaidah tersebut adalah “Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat”.
                A. Djazuli menempatkan kaidah ini diurutan pertama sebagai kaidah fiqh siyasah. Menurutnya, fiqh siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan yang meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum internasional dan hukum ekonomi. Fiqh siyasah pun berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.[11]

Syarat, Rukun dan Dalil kaidah  تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah kemaslahatan yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan maqasid as-syar’i, pilihlah maslahah yang terbaik diantara maslahah yang mungkin tercapai, tutuplah dan hindari kemudaratan yang mungkin terjadi, mafsadat/mudarat yang lebih ringan lebih baik dari pada mafsadat yang berat. Kebijakan pemimpin dalam kaidah ini setidaknya bisa menimbulkan kepastian hukum bagi umatnya, sehingga perselisihan yang lebih besar dari perbedaan pendapat bisa dihindari.
Rukun yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah
1.       Adanya pemimpin yang berdaulat, diakui kepemimpinannya, memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin yang baik.
2.       Adanya rakyat atau umat yang dipimpin.
3.      Adanya kemaslahatan yang akan dicapai, atau menghindari kemafsadatan yang lebih besar.
4.      Adanya kebijakan yang berdasarkan ijtihad yang tidak bertentangan dengan maqasid as-syar’i

Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i:
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.Menurut beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barra’ bin Azib.
اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya(menahan diri padanya)”.[12]
Hal tersebut berdasarkan hadits mauquf yang disandarkan kepada umar bin khattab RA. Hadits ini dikeluarkan oleh Said bin Mansur dalam kitab susunannya. Said bin mansur mengatakan Abu al-Ahwas bercerita kepadaku, dari Abi Ishaq, dari Barra’ bin Azib, Umar bin Khattab  [13].
Kaidah diatas merupakan kaidah yang ditegaskan oleh imam syafi’i. Imam syafi’i berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah kepemerintahan merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya anak yatim.
Dari perkataan umar di atas dapat difahami bahwa seorang wali dari anak yatim memiliki hak penuh terhadap anak yatim tersebut. Apakah si wali tersebut akan mengambil hartanya lalu dimanfaatkan, jika memang butuh. Atau tidak mengambil apapun jika memang si wali tidak membutuhkannya.
 Begitu juga dengan Umar yang pada waktu itu menjabat sebagai pemimpin rakyat atau umat islam yang memiliki hak penuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Apakah ia akan membawa rakyatnya kepada ke damaian dan kesejahteraan ataukah dibawa kepada kehancuran.
Oleh karena itu seorang pemimpin rakyat memiliki hak penuh terhadap rakyatnya, maka seorang pemimpin memiliki kewajiban membawa rakyatnya kepada kedamaian dan dalam memerintah harus menimbulkan kemaslahatan.
Pemimpin merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah perkumpulan ataupun suatu badan. Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu perkumpulan tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini juga ditegaskan oleh nabi dalam salah satu haditsnya yang intinya bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin dirinya sendiri dan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu juga dengan seorang presiden ataupun khalifah menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya.[14]
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”
Kaidah ini paling tidak bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat. Karena seorang pemimpin merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya.
Salah satu bentuk kekuasaan yang diperoleh oleh seorang penguasa adalah memutuskan suatu perkara atau menentukan sebuah kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada kaidah diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi yang baik, yan membawa kemashlahatan kepada yang dipimpinnya. Kalau presiden, keputusan presiden haruslah membawa kemaslahatan bagi rakyatnya.

Aplikasi kaidah    تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan menfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi [15].
Diantara contoh-contoh tindakan seorang pemimpin yang memberikan kebaikan kepada rakyatnya adalah sebagai berikut:
1.       Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan pekerjaan, mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan profesional dan sebagainya [16].
2.       Sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Mawardi bahwa seseorang tidak diperkenankan  mengangkat imam sholat dari orang fasik sekalipun sholat berjamaah kita bersamanya sah, karena hal tersebut bersifat makruh. Karena itu, seorang pemimpin harus menjaga kemashlahatan. Sedangkan membawa rakyat kepada hal-hal yang makruh itu tidak bersifat kemaslahatan.[17] Padahal seorang pemimpin harus membawa atau memberikan kemashlahatan bagi rakyatnya. Maka secara tidak langsung seorang pemimpin harus memutuskan bahwa seorang imam shalat bukanlah orang yang fasik.
3.      Kebijakan pemerintah menentukan batas usia nikah. Pada penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan “untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu diterapkan batas-batas umur untuk perkawinan” [18] . Dalam KHI pasal 15 disebutkan bahwa penetapan batas usia nikah minimal 19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan ditujukan untuk kemaslahatan keluarga dan rumahtangga [19]. Sebagaimana kita tahu tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun melarang umat islam menikah pada usia tertentu.
4.      Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya berorientasi kepada tercapainya kemaslahatan. Pemerintah sebagai pengendali umat berkewajiban menggunakan barang tambang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia [20]. Dalam sebuah Hadist ahad riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang kepemilikan sumber garam di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana pada hadits riwayat Abu Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang sama terhadap air, api dan rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada pelarangan monopoli barang tambang oleh perorangan atau individu, tetapi tidak disebutkan kebolehan ataupun larangan monopoli barang tambang oleh negara/pemerintah [21].


Kaidah Fiqhiyah
الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
Makna Kaidah   الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
Secara bahasa الوِلاَيَةُ berarti pemerintahan, kekuasaan, wilayah, perwalian [22].   Al-Hamawy mengartikannya dengan
نَفَاذُ التَّصَرُّفِ عَلَى الْغَيْرِ شَاءَ أَوْ أَبَى
“kewenangan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain, terlepas apa dia mampu atau tidak” [23].   أَقْوَى  Berarti lebih kuat [24].
Secara bahasa, A. Djazuli mengartikan kaidah tersebut dengan “Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan yang umum” [25].
Sedangkan makna kaidah secara istilah adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga yang umum [26]. Suatu benda atau persoalan yang berada di bawah suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus terhadap benda dan persoalan tersebut, kedudukannya dan wewenangnya lebih kuat dari pada penguasa umum, sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa khusus [27].
Dalam fiqh siyasah, ada pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam satu negara. Ada khalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al-hai’ah al-tanfidziyah), ada lembaga legislatif atau ahl al-aqdi (al-hai’ah al-tasyri’iyah), dan lembaga yudikatif (al-hai’ah al-qadhaiyah), bahkan lembaga pengawasan (al-hai’ah al-muraqabah) [28].
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Oleh sebab itu menarik perhatian sosiologi, tetapi sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang baik atau buruk.  Sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat, baik buruknya senantiasa harus diukur dg kegunaannya untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (disadari) oleh masyarakat.Kekuasaan ada pada setiap masyarakat, tetapi tidak terbagi secara merata, makanya timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
          Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, dinamakan pemimpin, yang menerima pengaruh adalah pengikut. Beda antara kekuasaan (power) dengan wewenang (authority atau legalized power) ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi fihak lain dapat dinamakan kekuasaan.  Sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.
                Kekuasaan umum adalah kekuasaan yang tidak dikhususkan dengan menguasai orang-orang tertentu, tetapi, kekuasaan yang menguasai seluruh orang dan kemaslahatan-kemaslahatan mereka. Dan adanya qaidah ini adalah sebagai dalil diperbolehkannya kekuasaan yang lebih husus mengatur kekuasaannya sendiri, dan juga kekuasaan umum agar tidak tersibukkan dengan mengurusi kekuasaan yang lebih kecil sekala kesibukannya.
Kaidah ini hampir mirip dengan teori atau Adagium, yang menyatakan lex specialis derogat legi generali (Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum). Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia sebagaimana artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:   
1.    Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2.   Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3.   Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan. [29]
               Namun yang membedakan antara kaidah dan teori tersebut adalah dalam kaidah  الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ terdapat prioritas kekuasaan khusus terhadap kekuasaan umum. Sedangkan dalam teori lex specialis derogat legi generali terdapat pemisahan antara kekuasaan khusus terhadap kekuasaan umum karena di dalamnya terdapat pengecualian.


Syarat, Rukun dan Dalil kaidah   الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah kebijakan yang diambil oleh penguasa khusus tidak boleh bertentangan dengan maqasid as-syar’i, pemegang keputusan penguasa khusus lebih profesional di bidangnya dan lebih tahu seluk beluk objek yang dipimpinnya dibanding penguasa umum. pilihlah maslahah yang terbaik diantara maslahah yang mungkin tercapai, tutuplah dan hindari kemudaratan yang mungkin terjadi, mafsadat/mudarat yang lebih ringan lebih baik dari pada mafsadat yang berat. Kebijakan pemimpin dalam kaidah ini pun setidaknya bisa menimbulkan kepastian hukum bagi umatnya, sehingga perselisihan yang lebih besar dari perbedaan pendapat bisa dihindari.
Rukun yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah
1.       Adanya kekuasaan umum sebagai yang dipercaya umatnya atau kepanjangan tangan dari orang-orang yang dipimpinnya.
2.       Adanya kekuasaan lebih khusus yang ditempati oleh seseorang yang refresentatif di bidangnya.
3.      Adanya Kebijakan yang diambil oleh kekuasaan khusus masih dalam koridor maqasid syar’i. Adanya kemaslahatan yang akan dicapai, atau menghindari kemafsadatan yang lebih besar.
Dalil dari kaidah ini salah satunya adalah
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
"Setiap perempuan yang dinikahi tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Kalau ia dikumpuli (disetubuhi), maka baginya mahar, karena suami telah menghalalkan farjinya jika ada pertengkaran-pertengkaran, maka hakim adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.   [30]
Maksud dari hadits ini adalah Wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada wali hakim atau hakim di lembaga peradilan agama, dan seterusnya. Sehingga wali nasab yang mempunyai kekuasaan khusus lebih kuat daripada wali hakim atau hakim yang mempunyai kekuasaan umum, walaupun pada level kekuasaan wali hakim dan lembaga peradilan lebih tinggi kekuatannya.

Aplikasi kaidah   الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
1.    Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada gubernur;
2.    Wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
3.   Hakim tidak dapat membelanjakan harta anak yatim yang berada di bawah kekuasaan wali atau orang yang mendapatkan kepercayaan dari ayah anak yatim tersebut, sebab wali atau orang tersebut yang mempunyai kekuasaan khusus terhadap anak kecil tadi.
4.   Kesaksian seorang wanita yang menyaksikan proses persalinan dalam perkara kedudukan nasab seorang anak kepada keluarganya, lebih kuat dari pada kesaksian orang lain. Walaupun ia adalah seorang wanita, karena ia ada dalam maqamnya sebagai seorang yang lebih berhak ada di posisi itu dari pada laki-laki (selain si suami perempuan yang bersalin).

Penutup

Dari pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan warganya, dan membuat peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat warganya sehingga menjadi lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu, maka janganlah ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan rakyat secara semaksimal mungkin. Tentu saja pada awalnya rakyatnya juga yang harus memilih atau menempatkan pemimpin baik. Dibutuhkan para pemimpin yang adil dan bijaksana. Selanjutnya berjalannya roda pemerintahan tidak bisa dilaksanakan hanya oleh seorang pemimpin, dibutuhkan para pemimpin-pemimpin di level-level terbawah yang mengepalai bidang-bidang tertentu yang diistilahkan sebagai kekuasaan khusus. Tempatkanlah  orang yang tepat di posisi yang tepat sesuai keahlian di bidangnya masing-masing.
Daftar Pustaka
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4.
Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II.
Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999).
Ahmad Ibn Muhammad al-Hanafy al-Hamawy, غمز عيون البصائر في شرح الأشباه والنظائر  , Maktabah Syamila, 464-2.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, hal. 323
Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; DEPAG RI, 2001), hal. 32.
Muchlis Usman. MA, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fikihiyah), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002
Ujang Firmansyah, Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan Barang Tambang dalm UU No. 11/1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Skripsi, (IAIN SGD;Bandung, 2000), hal. 61
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis


[1] Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999), hal. 407.
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 147.
[3] Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II  hlm. 61-62
[4] Ibid.
[5] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 147.
[6] A. Djazuli, Ibid., hal. 148.
[7] Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999), hal. 415.
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, hal. 323
[9] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976), Huruf M,hal. 635
[10] Op. Cit. hal. 324
[11]  A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 147.
[12]   Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II  hlm. 61-62
[13]   ألأشباه والنظا ءىر: hal 83
[14]    Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hlm:144
[15] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 148.
[16]  Ibid.,
[17]  Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hal 84
[18] Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; DEPAG RI, 2001), hal. 32.
[19] Ibid, hal. 136
[20]  Ujang Firmansyah, Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan Barang Tambang dalm UU No. 11/1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Skripsi, (IAIN SGD;Bandung, 2000), hal. 61
[21] Ibid, hal.6
[22] Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999), hal. 787.
[23] Ahmad Ibn Muhammad al-Hanafy al-Hamawy, غمز عيون البصائر في شرح الأشباه والنظائر  , Maktabah Syamila, 464-2.
[24] Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999), hal. 621.
[25]  A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 150.
[26]  Ibid.
[27] Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II  hlm. 92.
[28] A. Djazuli, Op. Cit., hal. 150.
[29] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis
[30] Shahih Sunan Tirmidzi (1101), Shahih: Ibnu Majah (1881)