Makalah diajukan sebagai bahan presentasi tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqh di bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Nurol Aen, MA.
|
MASLAHAH MUrSALAH
OLEH :
UJANG FIRMANSYAH
NIM. 2.213.5.011
|
|
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG
DJATI BANDUNG
PROGRAM
PASCA SARJANA
2013 M / 1435 H
|
|
MASLAHAH MURSALAH
PENDAHULUAN
Penunjukkan manusia
sebagai khalifah di muka bumi pada hakikatnya adalah demi kemaslahatan hidup
manusia itu sendiri. Kemaslahatan tersebut harus lah diciptakan guna
terlaksananya tugas dan peranan manusia baik sebagai mahluk individu, sosial
maupun sebagai hamba tuhan.
Sebelum membahas
tentang Maslahah Mursalah, perlu dikenal terlebih dahulu macam-macam maslahah.
Karena sesungguhnya Maslahah Mursalah adalah salah satu bentuk dari
maslahah.
Dilhat dari berbagai segi, kemaslahatan atau maslahah terbagi
kepada beberapa kategori.
b. Maslahah Hājiyah [3]
c. Maslahah
Tahsiniyah [4]
Tiga bentuk maslahah tersebut,
secara berurutan menggambarkan tingkatan
peringkat
kekuatannya,
yang
kuat
adalah
maslahah dharuriyah, kemudian maslahah
hajiyah,
dan
berikutnya
adalah
maslahah tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda
tingkat kekuatannya, yang secara
berurutan adalah; agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Perbedaan tingkat
kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya
dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas
haji dan didahulukan haji atau tahsini.
a. Maslahah al-Ammah
[6]
,
b. Maslahah al-khashshah
[7]
3. Dari segi keberadaan/eksistensinya maslahah terklasifikasi kepada tiga bentuk.
1.
Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang diakui dalam syari’ah.[8] (ditunjukkan dalil nash)
contoh, kemaslahatan yang dihasilkan oleh pernikahan yang sah adalah supaya
hidup sakinah, memperoleh keturunan yang shalih, menambah populasi muslim yang
bisa melanjutkan eksistensi keislaman, dan lain-lain.
2.
Maslahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang bertentangan dengan syariat,
contoh, demi mencapai kemaslahatan perkawinan di atas, seseorang memperkosa
setiap wanita, menikahi perempuan menggunakan ilmu pelet, atau poliandri.
3.
Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak ditentukan nash tetapi ia
juga tidak bertentangan, kepentingan yang ada di dalamnya seolah-olah diabaikan
oleh syari’ah dan dibiarkan tanpa batasan maupun ketentuan [9]. Contoh, untuk melindungi
identitas pernikahan, menjaga identitas keluarga juga keturunan dikeluarkanlah
Akte Nikah.
Kemaslahatan seperti yang
ada pada poin ketiga inilah yang menjadi kajian makalah ini.
PERUMUSAN MASALAH
Untuk mencegah terlalu
melebarnya materi pembahasan, penulisan membatasi kajian penulisan makalah ini
pada hal-hal berikut :
§
Pengertian Maslahah Mursalah
§
Syarat-syarat Maslahah Mursalah
§
Lapangan (objek) Maslahah Mursalah
§
Contoh penerapan Maslahah Mursalah
§
Pro Kontra dan pendapat ulama terhadap Maslahah Mursalah
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH
1.
Pengertian secara bahasa
Secara etimologis “Maslahah Mursalah”
terdiri atas dua suku kata yaitu maslahah dan mursalah. Al maslahah
adalah bentuk mufrad dari al mashalih. [10]
Maslahah berasal dari kata حﻼﺻ dengan penambahan “alif” di
awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”.
adalah mashdar
dengan
arti
kata
shalāh
yaitu
“manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan.” [11]
Kata maslahah
inipun
telah
menjadi bahasa
Indonesia
yang
berarti “Sesuatu
yang mendatangkan kebaikan“.[12] Adapun pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada
kebaikan manusia”. Dalam arti yang umum adalah
segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik
atau
menghasilkan
seperti
menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap
yang mengandung manfaat patut disebut maslahah. : [13]
Sedangkan kata al-Mursalah
adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il
madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf)
yaitu رسل dengan penambahan “alif” di
pangkalnya, sehingga menjadi ا رسل, yang berarti “terlepas” atau
“bebas” (dari kata muthlaqah).
Bila kata “maslahah”
digabungkan dengan “mursalah”, maka secara bahasa berarti “kemaslahatan yang
terlepas/bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan”.[14]
2.
Pengertian secara istilah
Maslahah mursalah menurut Imam Malik sebagaimana hasil
analisis Al-Syatibi, adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip
dan dalil-dalil syara yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang
bersifat dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder).
Menurut Abu Nur Zuhair, Maslahah Mursalah adalah suatu
sifat yang sesuai dengan hukum, tapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh
syara.
Menurut Abu Zahrah, maslahah mursalah adalah maslahah
yang sesuai dengan maksud maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tapi tidak
ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.
Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah adalah suatu metode
istidlal (mencari dalil) dari nash syara
yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara, tapi ia tidak
keluar dari nash syara.[15]
Muhammad Muslehuddin mengartikan maslahah mursalah
adalah kepentingan bersama yang tidak terbatas, atau kepentingan yang tidak ada
ketentuannya. hal ini berangkat dari teori Imam Malik bahwa konsep syari’ah itu
ada untuk kepentingan bersama, maka sesuatu yang memberikan kemanfaatan dan
mencegah kemudaratan bersama adalah merupakan salah satu sumber syariah. Sumber
baru inilah yang dinamakan al maslahah al mursalah.[16]
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang maslahah
mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat
tujuan syara secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus
menerima atau menolaknya.[17]
Hal yang membedakan antara Qiyas dan Maslahah mursalah
adalah Qiyas berangkat dari illat (alasan utama suatu nash) sedangkan maslahah
mursalah berangkat dari hikmah. Hikmah adalah perbuatan yang arif yang
mempunyai manfaat syari’ah secara sosial.
Abdul Wahab Khallaf memberi contoh simpel yang berkaitan dengan keringanan
mengqadla shaum ramadhan pada bulan lain jika shafar atau sakit. Kondisi Shafar
dan sakit adalah illat sedangkan keringanan dari sebuah kesulitan adalah
hikmah. [18]
Maslahah mursalah dalam
beberapa literatur ada yang menyebutnya “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah” dan “al-isti’dal al-mursal”.
Coba perhatikan kemaslahatan yang berhubungan dengan
pembuatan akte nikah,
1.
Sah tidaknya sebuah ikatan perkawinan adalah dengan
ditetapkan atau dikeluarkannya akta nikah. Proses ini disebut al-Istishlah
(menggali dan menetapkan maslahah) istilah ini digunakan al Ghazali dalam
kitabnya al-Mustasyfa, sedangkang al-Syatibi dalam al-Muwafaqat
menyebutnya dengan istilah al-isti’dal al-mursal.
2.
Akte Nikah mengandung tujuan menjaga status keturunan,
tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Maka hal ini
disebut al manasib al mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang
terlepas dari dari dalil syara’ yang khusus). Istilah ini yang digunakan oleh
Ibnu Hajib dan Qadhi al-Baidhawi.
3.
Akte nikah pada masa sekarang sangat penting dimiliki
karena mengandung berbagai kemaslahatan, tetapi kemaslahatan tersebut tidak
didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akta nikah. maka
dari sisi ini bisa disebut al maslahah al mursalah (maslahah yang
terlepas dari dari dalil khusus, tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum
syari’at Islam). [19]
B.
SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH
Sejalan dengan
pengertiannya, maka syarat umum maslahah mursalah adalah ketika tidak ditemukan
nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya Imam Malik mengajukan syarat-syarat
khususnya yaitu, :[20]
1.
Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai
sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid
as-syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini
berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau
bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan
maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis
maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2.
Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai
sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya
diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3.
Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka
menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam
pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil,
niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan”
Dan al-Baqarah ayat 185,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk
akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahah mursalah)
terserabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari
menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yangdipengaruhi hawa nafsu dan
syahwat dengan Maslahah Mursalah.
C.
LAPANGAN (OBJEK) MASLAHAH MURSALAH
Lapangan atau ruang
lingkup penerapan maslahah mursalah selain
yang berlandaskan pada hukum syara secara umum, juga harus diperhatikan adat
dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya, dengan kata lain maslahah mursalah hanya
meliputi kemaslahatan yang berhubungan dengan
muamalah[21].
Sedangkan masalah ibadah
bukanlah termasuk dalam lapangan tersebut. Alasannya karena maslahah mursalah didasarkan pada pertimbangan
akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan
ibadah ta’abuddi dan tawqifi, artinya kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam
nash, dan akan sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat
dhuhur empat rakaat dan dilakukan
setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar wilayah
ibadah, meskipun diantaranya ada
yang tidak dapat
diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat
ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya
oleh akal. Umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan
akal yang dapat mengarah
pada tindak kekerasan. [22]
D.
CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH
Contoh-contoh penerapan atau penggunaan maslahah
mursalah antara lain:
1.
Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat
Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama pengganti nabi untuk memimpin
umat dalam meneruskan
tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan
berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Seorang khalifah sangat dibutuhkan
pada saat itu, dan ini merupakan
suatu
maslahat yang sangat besar, namun hal ini tidak
ditemukan dalil khusus dari teks
syariat yang membenarkan atau menyuruh atau membatalkannya (melarang).
2.
Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Quran kedalam
beberapa mushaf. Padahal
hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong
mereka malakukan pengumpulan pengumpulan itu tidak lain
kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atan kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat. [23]
3. Produk-produk hukum
para
Ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum
tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, misalnya, fatwa tentang keharusan “sertifikat
halal”
bagi
produk makanan,
minuman dan kosmetik.
Majelis
Ulama Indonesia melalui lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya
melakukan penelitian terhadap produk makanan,
minuman, obat-obatan dan kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang
menyinggungnya secara
langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat Islam dari
makanan minuman, obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan
masih
banyak lagi hal yang lainnya.
4.
Begitu pula dengan hal bunga
bank, tidak disebutkan
hukumnya dalam al Quran dan
al-Hadits. Mayoritas ulama menetapkan bunga bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba karena menurut
mereka unsur tambahan yang menjadi illat haramnya
riba juga terdapat pada bunga bank.
Dalam
kehidupan modern sekarang ini, bank sudah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala konsekuensinya telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat
modern yang
tidak mungkin dipisahkan lagi. Praktek perbankan
yang ada sekarang
ini dapat menjadi sarana tolong-menolong
sesama umat manusia karena
hampir semua masyarakat modern saat
ini berkepentingan dengan bank, baik untuk menjadi
meminjam uang, menabung, membayar rekening listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang, bahkan untuk mengirimkan
bantuan berupa
uang
untuk korban-korban bencana alam yang akhir-akhir ini sering menimpa
negara kita. Dan hampir semua
orang
telah
merasakan manfaat dalam berhubungan dengan bank.
Mereka yang meminjam uang merasa
mendapatkan
kemudahan dari bank demikian juga mereka yang
mempunyai
uang, dapat menabung di bank dan mendapatkan keuntungan yang wajar berupa bunga dari uang tabungannya dan tentu saja, rasa aman.
Kalaupun ada sebagian umat
yang merasa kurang nyaman dengan bank konvensional dengan
bunganya, masih ada jalan keluarnya, yaitu
bank syariah yang saat
ini mulai menjamur
dan menjadikan bagi hasil
sebagai pengganti bunga, dengan
segala
fasilitas yang
tidak
kalah lengkap dengan bank konvensional.
Dalam keadaan
demikian, fuqaha meninggalkan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan
menetapkan hukum
lain dengan menggunakan metode maslahah mursalah. Praktek
perbankan yang tidak mengandung zhulum malahan menjadi
sarana untuk saling tolong menolong
sesama manusia dan hal ini
sangat sesuai
dengan maqashid syariah ammah.
5.
Kesaksian anak-anak yang belum
baligh atas dasar kemaslahatan dapat
dipertimbangkan oleh hakim dalam satu perkara, walaupun tidak ada ketetapan
syara’. Syariat hanya mengisyaratkan
bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiayaan
yang terjadi dikalangan anak-anak, yang
sulit mencari persaksian orang dewasa, maka dalam
hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan pertimbangan.
6.
Pada penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan
“untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu diterapkan
batas-batas umur untuk perkawinan” [24] . Dalam KHI pasal 15 disebutkan
bahwa penetapan batas usia nikah minimal 19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan ditujukan untuk kemaslahatan keluarga dan rumahtangga [25]. Sebagaimana kita tahu
tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun melarang umat islam menikah pada usia
tertentu.
7.
Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan
dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya demi
tercapainya kemaslahatan. Pemerintah sebagai pengendali umat berkewajiban
menggunakan barang tambang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia [26]. Dalam sebuah Hadist ahad
riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang kepemilikan sumber garam
di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana pada hadits riwayat Abu
Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang sama terhadap air, api dan
rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada pelarangan monopoli barang tambang
oleh perorangan atau individu, tetapi tidak disebutkan kebolehan ataupun
larangan monopoli barang tambang oleh negara/pemerintah [27].
Bila diperhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para
sahabat,para ulama
dan pemerintah Indonesia semuanya adalah
merupakan hasil
ijtihad dengan pertimbangan maslahah
mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
E.
PRO KONTRA dan PENDAPAT ULAMA
TERHADAP MASLAHAH MURSALAH
Para ulama yang pro terhadap maslahah mursalah
diantaranya Imam Malik, Imam Hanbali dan al-Syatibi dengan argumen sebagai
berikut :[28]
1.
Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn
Jabal yang akal menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat
Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad
ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi
sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2.
Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang
walaupun saat itu belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu
keadaan yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti,
pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak
membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat
kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at)
Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali jaman Ustman ibn Affan.
3.
Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah
sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah
tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya.
4.
Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak
boleh menggunakan metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam
kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan
untuk hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya
menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Sebagaimana disebutkan Abu Zahrah, Imam Malik dan
golongan Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai sumber hukum selama
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab pada hakekatnya,
keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikan maqasid as-Syar’i
(tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang
menguatkannya.[29]
Para ulama yang kontra atau menolak maslahah mursalah
sebagai metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i, al-Ghazali dan para
pengikutnya yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai metoda ijtihad.
Alasan utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah sudah
terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi permasalahan
yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja. Sebaliknya jika
ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash Qur’an dan Sunnah, maka
artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu tidak sempurna atau tidak lengkap.
Dan ini tentu saja bertentangan dengan al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah
memberikan argumentasi sebagai berikut : [30]
1.
Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang
membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin
disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti
mengakui kurang lengkap atau kurang sempurnya risalah Nabi.
2.
Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan
nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan
menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip
islami. Keberatan al-Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena
ia tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau
menetapkan syarat yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
3.
Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada
nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi
prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4.
Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada
nash akan memberi kemungkinan mudahnya perubahan hukum syara seiring perubahan
waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak
sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi
semua umat Islam.
PENUTUP
Tidak seorang pun yang menyangkal bahwa syariat Islam
itu dimaksudkan
untuk kemaslahatan umat manusia.
Syariat itu membawa
manusia kepada
kebaikan dan kebahagiaan serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.
Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syariat dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad SAW. Alat dan
cara untuk
memperoleh kemaslahatan
itu
berkembang dan beraneka ragam seirama
dengan
perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan
hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondisi di zaman Nabi, langsung
mendapat pengakuan dan pengesahan dari teks syari kalau itu dibenarkan, dan dibatalkan kalau tidak dibenarkan. Maslahah yang dibatalkan berarti tidak dianggap sebagai
maslahat oleh syariah.
Yang menjadi
masalah adalah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami
orang setelah Nabi wafat,
sedangkan
teks
syariat
tidak
pernah
menyinggung masalah yang seperti
itu. Inilah lapangan
penggunaan maslahah
mursalah yaitu kemaslahatan
hidup manusia menurut
yang dialami dan dirasakan oleh manusia itu sendiri yang tidak dapat diqiyaskan pada maslahat yang
pernah dibenarkan atau dibatalkan
oleh teks syariat (nash).
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet-I, Jilid II
DEPAG RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Perkawinan, (Jakarta; Dirjen Bimas Islam & Haji, 2001).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah
Ma’shum, dkk., (Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II.
Muhammad Muslehuddin, Filssafat Hukum Islam, terj.
Yudian Wahyudi Asmin DKK. , (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1991)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998)
Cet. IV
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976)
Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara,
(Thesis, Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta:
2003), hal. 23
[2] Maslahah
Dharuriyah
adalah kemaslahatan
yang keberadaanya sang
dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan
manusia tidak ada apa-apa bila
satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada (hifd al-din, nafs,aql,
nasl, mal). Segala usaha yang
secara langsung menjamin atau menuju pada
keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri.
[3] Maslahah al-hājiyah, adalah
kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusia kepadanya tidak berada
pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi
kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
[4] Maslahah Tahsiniyah, adalah maslahah yang
kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai pada tingkat
dharuri, juga tidak sampai pada tingkat hajiyah, namun kebutuhan
tersebut perlu dipenuhi dalam
rangka memberi kesempurnaan dan keindahan
bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk
tahsini tersebut, juga berkaitan
dengan lima kebutuhan pokok manusia.
[5] Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara,
(Thesis, Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta:
2003), hal. 23
[6] Maslahah al-Ammah , yaitu kemaslahatan
umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang,
tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat.
[7] Maslahah al-khashshah, yaitu kemaslahatan
pribadi dan ini sangat jarang
sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan
pemutusan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).
[8] Muhammad Muslehuddin, Filssafat Hukum Islam, terj.
Yudian Wahyudi Asmin DKK. , (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1991) , hal.
129.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI,
Jilid II, hal. 323
[13] Op.
Cit. hal. 324
[16] Muhammad Muslehuddin, Filssafat Hukum Islam, terj.
Yudian Wahyudi Asmin DKK. , (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1991) , hal.
127.
[20] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah
Ma’shum, dkk.,(Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II, hal. 427.
[23] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah
Ma’shum, dkk.,(Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II, hal. 429.
[24] Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; DEPAG RI, 2001), hal. 32.
[26] Ujang Firmansyah, Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap
Penguasaan Barang Tambang dalm UU No. 11/1967 Tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan, Skripsi, (IAIN SGD;Bandung, 2000), hal. 61
[29] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah
Ma’shum, dkk.,(Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II, hal. 428.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar