Senin, 07 April 2014

MASLAHAH MURSALAH sebagai Sumber Hukum Islam




Makalah  diajukan sebagai bahan presentasi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh di bawah Bimbingan     Prof.  Dr. H. Nurol Aen, MA.
MASLAHAH MUrSALAH


OLEH :                               
UJANG FIRMANSYAH                         NIM. 2.213.5.011

UNIVERSITAS  ISLAM  NEGERI
SUNAN  GUNUNG  DJATI BANDUNG    PROGRAM  PASCA  SARJANA

2013 M / 1435 H







MASLAHAH  MURSALAH
PENDAHULUAN
Penunjukkan manusia sebagai khalifah di muka bumi pada hakikatnya adalah demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Kemaslahatan tersebut harus lah diciptakan guna terlaksananya tugas dan peranan manusia baik sebagai mahluk individu, sosial maupun sebagai hamba tuhan.
Sebelum membahas tentang Maslahah Mursalah, perlu dikenal terlebih dahulu macam-macam maslahah. Karena sesungguhnya Maslahah Mursalah adalah salah satu bentuk dari maslahah. 
Dilhat dari berbagai segi, kemaslahatan atau maslahah terbagi kepada beberapa kategori.
1.  Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah ada tiga macam, yaitu:[1]
a.  Maslahah Dharuriyah [2]
b. Maslahah Hājiyah [3]
c. Maslahah Tahsiniyah [4]
Tiga  bentuk maslahah  tersebut,  secara  berurutan  menggambarkan tingkatan  peringkat  kekuatannya,  yang  kuat  adalah  maslahah  dharuriyah, kemudian  maslahah  hajiyah,  dan  berikutnya  adalah  maslahah  tahsiniyah. Dharuriyah  yang  lima  itu  juga  berbeda  tingkat  kekuatannya,  yang  secara berurutan adalah; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji dan didahulukan haji atau tahsini.

2.      Dari segi kandungan maslahah, ulama Ushul Fiqh membaginya kepada dua bagian, yaitu: [5]
a. Maslahah al-Ammah [6] ,
b. Maslahah al-khashshah [7]
3.      Dari segi keberadaan/eksistensinya maslahah terklasifikasi kepada tiga bentuk.
1.       Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang diakui dalam syari’ah.[8] (ditunjukkan dalil nash) contoh, kemaslahatan yang dihasilkan oleh pernikahan yang sah adalah supaya hidup sakinah, memperoleh keturunan yang shalih, menambah populasi muslim yang bisa melanjutkan eksistensi keislaman, dan lain-lain.
2.       Maslahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang bertentangan dengan syariat, contoh, demi mencapai kemaslahatan perkawinan di atas, seseorang memperkosa setiap wanita, menikahi perempuan menggunakan ilmu pelet, atau poliandri.
3.      Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak ditentukan nash tetapi ia juga tidak bertentangan, kepentingan yang ada di dalamnya seolah-olah diabaikan oleh syari’ah dan dibiarkan tanpa batasan maupun ketentuan [9]. Contoh, untuk melindungi identitas pernikahan, menjaga identitas keluarga juga keturunan dikeluarkanlah Akte Nikah.
Kemaslahatan seperti yang ada pada poin ketiga inilah yang menjadi kajian makalah ini.
PERUMUSAN MASALAH
Untuk mencegah terlalu melebarnya materi pembahasan, penulisan membatasi kajian penulisan makalah ini pada hal-hal berikut :
§  Pengertian Maslahah Mursalah
§  Syarat-syarat Maslahah Mursalah
§  Lapangan (objek) Maslahah Mursalah
§  Contoh penerapan Maslahah Mursalah
§  Pro Kontra dan pendapat ulama terhadap Maslahah Mursalah
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH
1.        Pengertian secara bahasa
Secara etimologis “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata yaitu maslahah dan mursalah. Al maslahah adalah bentuk mufrad dari al mashalih. [10]
Maslahah berasal dari kata حﻼﺻ dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. adalah  mashdar  dengan  arti  kata  shalāh  yaitu  manfaat”  atau  “terlepas  dari padanya kerusakan. [11]
Kata  maslahah  inipun  telah  menjadi  bahasa  Indonesia  yang  berarti “Sesuatu yang mendatangkan kebaikan“.[12]  Adapun pengertian maslahah dalam bahasa  Arab  berarti  “perbuatan-perbuatan  yang  mendorong  kepada  kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,  baik  dalam  arti  menarik  atau  menghasilkan  seperti  menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah. :  [13]
Sedangkan kata al-Mursalah  adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu رسل dengan penambahan “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi   ا رسل, yang berarti “terlepas” atau “bebas” (dari kata muthlaqah).
Bila kata “maslahah” digabungkan dengan “mursalah”, maka secara bahasa berarti “kemaslahatan yang terlepas/bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan”.[14]
2.      Pengertian secara istilah
Maslahah mursalah menurut Imam Malik sebagaimana hasil analisis Al-Syatibi, adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder).
Menurut Abu Nur Zuhair, Maslahah Mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara.
Menurut Abu Zahrah, maslahah mursalah adalah maslahah yang sesuai dengan maksud maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.
Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara  yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara, tapi ia tidak keluar dari nash syara.[15]
Muhammad Muslehuddin mengartikan maslahah mursalah adalah kepentingan bersama yang tidak terbatas, atau kepentingan yang tidak ada ketentuannya. hal ini berangkat dari teori Imam Malik bahwa konsep syari’ah itu ada untuk kepentingan bersama, maka sesuatu yang memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudaratan bersama adalah merupakan salah satu sumber syariah. Sumber baru inilah yang dinamakan al maslahah al mursalah.[16]
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang maslahah mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.[17]
Hal yang membedakan antara Qiyas dan Maslahah mursalah adalah Qiyas berangkat dari illat (alasan utama suatu nash) sedangkan maslahah mursalah berangkat dari hikmah. Hikmah adalah perbuatan yang arif yang mempunyai manfaat syari’ah secara sosial.  Abdul Wahab Khallaf memberi contoh simpel yang berkaitan dengan keringanan mengqadla shaum ramadhan pada bulan lain jika shafar atau sakit. Kondisi Shafar dan sakit adalah illat sedangkan keringanan dari sebuah kesulitan adalah hikmah. [18]
Maslahah mursalah dalam beberapa literatur ada yang menyebutnya munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah dan “al-isti’dal al-mursal”.
Coba perhatikan kemaslahatan yang berhubungan dengan pembuatan akte nikah,
1.       Sah tidaknya sebuah ikatan perkawinan adalah dengan ditetapkan atau dikeluarkannya akta nikah. Proses ini disebut al-Istishlah (menggali dan menetapkan maslahah) istilah ini digunakan al Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa, sedangkang al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyebutnya dengan istilah al-isti’dal al-mursal.
2.       Akte Nikah mengandung tujuan menjaga status keturunan, tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Maka hal ini disebut al manasib al mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dari dalil syara’ yang khusus). Istilah ini yang digunakan oleh Ibnu Hajib dan Qadhi al-Baidhawi.
3.      Akte nikah pada masa sekarang sangat penting dimiliki karena mengandung berbagai kemaslahatan, tetapi kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akta nikah. maka dari sisi ini bisa disebut al maslahah al mursalah (maslahah yang terlepas dari dari dalil khusus, tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam). [19]

B.     SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum maslahah mursalah adalah ketika tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya Imam Malik mengajukan syarat-syarat khususnya yaitu, :[20]
1.       Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini  berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2.       Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3.      Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
 “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
Dan al-Baqarah ayat 185,
 Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahah mursalah) terserabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yangdipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahah Mursalah.
C.      LAPANGAN (OBJEK) MASLAHAH MURSALAH
Lapangan  atau  ruang  lingkup  penerapan  maslahah  mursalah  selain yang berlandaskan pada hukum syara secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya, dengan kata lain maslahah mursalah hanya meliputi kemaslahatan yang berhubungan dengan muamalah[21].
Sedangkan masalah ibadah bukanlah termasuk dalam lapangan tersebut. Alasannya karena maslahah mursalah didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abuddi dan tawqifi, artinya kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash, dan akan sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat dhuhur empat rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar  wilayah  ibadah,  meskipun  diantaranya  ada  yang  tidak  dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal. Umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan. [22]
D.     CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH
Contoh-contoh penerapan atau penggunaan maslahah mursalah antara lain:
1.       Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai   khalifah   pertama   pengganti   nabi   untuk   memimpin   umat   dalam meneruskan tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Seorang  khalifah  sangat  dibutuhkan  pada  saat  itu,  dan  ini  merupakan  suatu maslahat yang sangat besar, namun hal ini tidak ditemukan dalil khusus dari teks syariat yang membenarkan atau menyuruh atau membatalkannya (melarang).
2.       Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka malakukan pengumpulan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atan kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat. [23]
3.  Produk-produk  hukum  para Ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa Majelis Ulama  Indonesia,  misalnya,  fatwa  tentang  keharusan  “sertifikat  halal”  bagi produk  makanan,  minuman  dan  kosmetik.  Majelis  Ulama  Indonesia  melalui lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya melakukan penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam   melindungi umat Islam dari makanan minuman, obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi hal yang lainnya.
4.      Begitu pula dengan hal bunga bank, tidak disebutkan hukumnya dalam al Quran dan al-Hadits. Mayoritas ulama menetapkan bunga bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba karena menurut mereka unsur tambahan yang menjadi illat haramnya riba juga terdapat pada bunga bank.
Dalam kehidupan modern sekarang ini, bank sudah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala konsekuensinya telah menjadi   bagian   dari   kehidupan   masyarakat   modern   yang   tidak   mungkin dipisahkan lagi. Praktek perbankan yang ada sekarang ini dapat menjadi sarana tolong-menolong    sesama  umat  manusia  karena  hampir  semua  masyarakat modern  saat  ini  berkepentingan  dengan  bank,  baik  untuk  menjadi  meminjam uang, menabung, membayar rekening listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang, bahkan  untuk    mengirimkan    bantuan    berupa    uang    untuk  korban-korban bencana  alam  yang  akhir-akhir  ini  sering  menimpa  negara  kita.  Dan  hampir semua  orang  telah  merasakan  manfaat dalam berhubungan dengan  bank.
Mereka  yang  meminjam  uang  merasa  mendapatkan  kemudahan  dari  bank demikian juga mereka yang mempunyai uang, dapat menabung di bank dan mendapatkan keuntungan yang wajar berupa bunga dari uang tabungannya dan tentu saja, rasa aman.
Kalaupun ada sebagian umat yang merasa kurang nyaman dengan bank konvensional dengan bunganya, masih ada jalan keluarnya, yaitu bank syariah yang  saat  ini  mulai  menjamur  dan  menjadikan  bagi  hasil  sebagai  pengganti bunga,   dengan   segala   fasilitas   yang   tidak   kalah   lengkap   dengan   bank konvensional.
Dalam keadaan demikian, fuqaha meninggalkan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode maslahah mursalah. Praktek perbankan yang tidak mengandung zhulum malahan menjadi sarana untuk saling tolong menolong sesama manusia dan hal ini sangat sesuai dengan maqashid syariah ammah.
5.      Kesaksian anak-anak yang belum baligh atas dasar kemaslahatan dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam satu perkara, walaupun tidak ada ketetapan syara’. Syariat hanya mengisyaratkan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiayaan yang terjadi dikalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian orang dewasa, maka dalam hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan pertimbangan.
6.      Pada penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan “untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu diterapkan batas-batas umur untuk perkawinan” [24] . Dalam KHI pasal 15 disebutkan bahwa penetapan batas usia nikah minimal 19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan ditujukan untuk kemaslahatan keluarga dan rumahtangga [25]. Sebagaimana kita tahu tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun melarang umat islam menikah pada usia tertentu.
7.      Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya demi tercapainya kemaslahatan. Pemerintah sebagai pengendali umat berkewajiban menggunakan barang tambang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia [26]. Dalam sebuah Hadist ahad riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang kepemilikan sumber garam di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana pada hadits riwayat Abu Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang sama terhadap air, api dan rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada pelarangan monopoli barang tambang oleh perorangan atau individu, tetapi tidak disebutkan kebolehan ataupun larangan monopoli barang tambang oleh negara/pemerintah [27].
Bila  diperhatikan  produk-produk  hukum  yang  dihasilkan  oleh  para sahabat,para ulama dan pemerintah Indonesia semuanya adalah merupakan hasil ijtihad dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
E.      PRO KONTRA dan PENDAPAT ULAMA TERHADAP MASLAHAH MURSALAH
Para ulama yang pro terhadap maslahah mursalah diantaranya Imam Malik, Imam Hanbali dan al-Syatibi dengan argumen sebagai berikut :[28]
1.       Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akal menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2.       Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali jaman Ustman ibn Affan.
3.      Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
4.      Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Sebagaimana disebutkan Abu Zahrah, Imam Malik dan golongan Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai sumber hukum selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab pada hakekatnya, keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikan maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.[29]
Para ulama yang kontra atau menolak maslahah mursalah sebagai metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i, al-Ghazali dan para pengikutnya yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai metoda ijtihad. Alasan utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah sudah terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi permasalahan yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja. Sebaliknya jika ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash Qur’an dan Sunnah, maka artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu tidak sempurna atau tidak lengkap. Dan ini tentu saja bertentangan dengan al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah memberikan argumentasi sebagai berikut : [30]
1.       Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang lengkap atau kurang sempurnya risalah Nabi.
2.       Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
3.      Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4.      Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memberi kemungkinan mudahnya perubahan hukum syara seiring perubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
PENUTUP
Tidak seorang pun yang menyangkal bahwa syariat Islam itu dimaksudkan untuk  kemaslahatan  umat  manusia.  Syariat  itu  membawa  manusia  kepada kebaikan dan kebahagiaan serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.
Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syariat dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad SAW. Alat dan cara  untuk  memperoleh  kemaslahatan  itu  berkembang  dan  beraneka ragam seirama  dengan perkembangan  sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondisi di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan dari teks syari kalau itu  dibenarkan,  dan  dibatalkan  kalau  tidak  dibenarkan.  Maslahah  yang dibatalkan berarti tidak dianggap sebagai maslahat oleh syariah. 
Yang menjadi masalah adalah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami orang  setelah  Nabi  wafat,  sedangkan  teks  syariat  tidak  pernah  menyinggung masalah yang seperti itu. Inilah lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu kemaslahatan hidup manusia menurut yang dialami dan dirasakan oleh manusia itu sendiri yang tidak dapat diqiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan atau dibatalkan oleh teks syariat (nash).
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet-I, Jilid II
DEPAG RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; Dirjen Bimas Islam & Haji, 2001).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum, dkk., (Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II.
Muhammad Muslehuddin, Filssafat Hukum Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin DKK. , (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1991)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976)
Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara, (Thesis, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), hal. 23


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, hal. 327
[2] Maslahah Dharuriyah  adalah kemaslahatan yang keberadaanya sang dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak ada apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada (hifd al-din, nafs,aql, nasl, mal). Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri.
[3] Maslahah al-hājiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
[4] Maslahah Tahsiniyah, adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai pada tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
[5] Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara, (Thesis, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), hal. 23
[6] Maslahah al-Ammah , yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat.
[7] Maslahah al-khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti    kemaslahatan    yang    berkaitan    dengan    pemutusan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).
[8] Muhammad Muslehuddin, Filssafat Hukum Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin DKK. , (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1991) , hal. 129.
[9] Ibid.,
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV, hal. 117
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, hal. 323
[12] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976), Huruf M,hal. 635
[13] Op. Cit. hal. 324
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, hal. 332
[15] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV, hal. 119
[16] Muhammad Muslehuddin, Filssafat Hukum Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin DKK. , (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1991) , hal. 127.
[17] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV, hal. 119
[18] Ibid, hal. 128
[19] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV, hal. 118
[20] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum, dkk.,(Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II, hal. 427.
[21] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998) Cet. IV, hal. 121
[22] Amir Syarifuddin, Lock. Cit., hal. 340.
[23] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum, dkk.,(Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II, hal. 429.
[24] Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; DEPAG RI, 2001), hal. 32.
[25] Ibid, hal. 136
[26] Ujang Firmansyah, Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan Barang Tambang dalm UU No. 11/1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Skripsi, (IAIN SGD;Bandung, 2000), hal. 61
[27]Ibid, hal.6
[28] Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 338
[29] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum, dkk.,(Jakarta, PT Pustaka Firdaus; 1994) Cet II, hal. 428.
[30] Ibid, hal. 339.

2 komentar: