Makalah diajukan sebagai bahan
presentasi tugas Mata Kuliah Ilmu Qowaid wa Nazhairiyat di bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i,
MA.
|
KAIDAH FIQHYAH
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ
مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ DAN
الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّة
OLEH : UJANG
FIRMANSYAH NIM. 2.213.5.011
|
|
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG PROGRAM PASCA
SARJANA
2014 M / 1435 H
|
![]() |
|
PENDAHULUAN
kaidah-kaidah fiqh merupakan hal yang penting dalam menentukan sebuah
hukum. Kaidah-kaidah
ini disusun oleh para ulama secara praktis disertai contoh-contoh untuk
memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan melakukan penetapan bahkan
mengambil keputusan hukum dengan cepat dan tepat. Dua kaidah fiqh yang menjadi topik pembahasan dalam
makalah ini adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqh tentang
politik/siyasah/kekuasaan.
Kaidah Fiqhiyah
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ
مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Makna Kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ
مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Secara bahasa تَصَرُّفُ berarti Tindakan [1],
kebijakan [2] ,
atau kebijaksanaan [3]. مَنُوْطٌ berarti berkaitan, dihubungkan[4] , bergantung [5], atau
“berorientasi kepada” [6]. الْمَصْلَحَةِ
berarti kemaslahatan, kepentingan. Sama pengertiannya dengan الفائدة yang berarti faedah atau kemanfaatan [7].
Kata الْمَصْلَحَةِ berasal dari حﻼﺻ dengan penambahan “alif” di
awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”.
adalah mashdar
dengan
arti
kata
shalāh
yaitu
“manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan.” [8]
Kata maslahah
ini pun telah menjadi
bahasa Indonesia yang berarti “Sesuatu
yang mendatangkan kebaikan“.[9] Adapun pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada
kebaikan manusia”. Dalam arti yang umum adalah
segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik
atau
menghasilkan
seperti
menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap
yang mengandung manfaat patut disebut maslahah [10].
Dengan demikian, arti secara bahasa dari kaidah di atas
adalah “Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan
kemaslahatan.”
Dan pengertian secara istilah dari kaidah tersebut adalah
“Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus
sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri.
Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat”.
A. Djazuli menempatkan kaidah ini diurutan pertama sebagai
kaidah fiqh siyasah. Menurutnya, fiqh siyasah adalah hukum Islam yang objek
bahasannya tentang kekuasaan yang meliputi hukum tata negara, administrasi
negara, hukum internasional dan hukum ekonomi. Fiqh siyasah pun berbicara
tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di
dalam ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam
kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.[11]
Syarat, Rukun dan Dalil kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى
الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam kaidah ini
adalah kemaslahatan yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan maqasid
as-syar’i, pilihlah maslahah yang terbaik diantara maslahah yang mungkin
tercapai, tutuplah dan hindari kemudaratan yang mungkin terjadi,
mafsadat/mudarat yang lebih ringan lebih baik dari pada mafsadat yang berat.
Kebijakan pemimpin dalam kaidah ini setidaknya bisa menimbulkan kepastian hukum
bagi umatnya, sehingga perselisihan yang lebih besar dari perbedaan pendapat
bisa dihindari.
Rukun yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah
1.
Adanya pemimpin yang
berdaulat, diakui kepemimpinannya, memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin yang
baik.
2.
Adanya rakyat atau umat
yang dipimpin.
3.
Adanya kemaslahatan yang
akan dicapai, atau menghindari kemafsadatan yang lebih besar.
4.
Adanya kebijakan yang
berdasarkan ijtihad yang tidak bertentangan dengan maqasid as-syar’i
Kaidah ini berasal dari
fatwa Imam Asy-Syafi’i:
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ
مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan
wali terhadap anak yatim”.Menurut beliau, fatwa beliau adalah berasal
dari fatwa Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dari Abu
Ahwash dari Abi Ishaq dari Barra’ bin Azib.
اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ
مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ
رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah
seperti kedudukan wali terhadap anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil
dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan apabila aku tidak
membutuhkan, aku menjauhinya(menahan diri padanya)”.[12]
Hal tersebut berdasarkan hadits mauquf yang disandarkan
kepada umar bin khattab RA. Hadits ini dikeluarkan oleh Said bin Mansur dalam
kitab susunannya. Said bin mansur mengatakan Abu al-Ahwas bercerita kepadaku,
dari Abi Ishaq, dari Barra’ bin Azib, Umar bin Khattab [13].
Kaidah diatas merupakan kaidah yang ditegaskan oleh imam
syafi’i. Imam syafi’i berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah
kepemerintahan merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya
anak yatim.
Dari perkataan umar di atas dapat difahami bahwa seorang
wali dari anak yatim memiliki hak penuh terhadap anak yatim tersebut. Apakah si
wali tersebut akan mengambil hartanya lalu dimanfaatkan, jika memang butuh.
Atau tidak mengambil apapun jika memang si wali tidak membutuhkannya.
Begitu juga dengan
Umar yang pada waktu itu menjabat sebagai pemimpin rakyat atau umat islam yang
memiliki hak penuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Apakah ia akan membawa
rakyatnya kepada ke damaian dan kesejahteraan ataukah dibawa kepada kehancuran.
Oleh karena itu seorang pemimpin rakyat memiliki hak
penuh terhadap rakyatnya, maka seorang pemimpin memiliki kewajiban membawa
rakyatnya kepada kedamaian dan dalam memerintah harus menimbulkan kemaslahatan.
Pemimpin merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah
perkumpulan ataupun suatu badan. Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu
perkumpulan tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini juga ditegaskan oleh nabi
dalam salah satu haditsnya yang intinya bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin
dirinya sendiri dan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu juga dengan seorang
presiden ataupun khalifah menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai
pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya.[14]
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”
Kaidah
ini paling tidak bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu
pemerintahan haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat. Karena
seorang pemimpin merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang
dipimpinnya.
Salah satu bentuk kekuasaan yang diperoleh oleh seorang
penguasa adalah memutuskan suatu perkara atau menentukan sebuah kebijakan. Maka
jika kita berpegang kepada kaidah diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang
pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi yang
baik, yan membawa kemashlahatan kepada yang dipimpinnya. Kalau presiden, keputusan presiden haruslah
membawa kemaslahatan bagi rakyatnya.
Aplikasi kaidah
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ
مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut
yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan menfaat bagi rakyat maka itulah yang
harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi
kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan
rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi [15].
Diantara contoh-contoh tindakan seorang pemimpin yang
memberikan kebaikan kepada rakyatnya adalah sebagai berikut:
1.
Dalam upaya-upaya
pembangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan pekerjaan,
mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan profesional dan sebagainya [16].
2. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Mawardi bahwa
seseorang tidak diperkenankan mengangkat
imam sholat dari orang fasik sekalipun sholat berjamaah kita bersamanya sah,
karena hal tersebut bersifat makruh. Karena itu, seorang pemimpin harus menjaga
kemashlahatan. Sedangkan membawa rakyat kepada hal-hal yang makruh itu tidak
bersifat kemaslahatan.[17] Padahal seorang pemimpin
harus membawa atau memberikan kemashlahatan bagi rakyatnya. Maka secara tidak
langsung seorang pemimpin harus memutuskan bahwa seorang imam shalat bukanlah
orang yang fasik.
3.
Kebijakan pemerintah menentukan batas usia nikah. Pada
penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan “untuk menjaga kesehatan suami
isteri dan keturunan, perlu diterapkan batas-batas umur untuk perkawinan” [18]
. Dalam KHI pasal 15 disebutkan bahwa penetapan batas usia nikah minimal
19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan ditujukan untuk kemaslahatan
keluarga dan rumahtangga [19].
Sebagaimana kita tahu tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun melarang umat islam
menikah pada usia tertentu.
4.
Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan
dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya berorientasi
kepada tercapainya kemaslahatan. Pemerintah sebagai pengendali umat
berkewajiban menggunakan barang tambang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia [20].
Dalam sebuah Hadist ahad riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang
kepemilikan sumber garam di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana
pada hadits riwayat Abu Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang
sama terhadap air, api dan rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada
pelarangan monopoli barang tambang oleh perorangan atau individu, tetapi tidak
disebutkan kebolehan ataupun larangan monopoli barang tambang oleh
negara/pemerintah [21].
Kaidah Fiqhiyah
الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ
العَامَّةِ
Makna Kaidah الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ
العَامَّةِ
Secara bahasa الوِلاَيَةُ
berarti pemerintahan, kekuasaan, wilayah, perwalian [22]. Al-Hamawy mengartikannya dengan
نَفَاذُ التَّصَرُّفِ عَلَى الْغَيْرِ
شَاءَ أَوْ أَبَى
“kewenangan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain,
terlepas apa dia mampu atau tidak” [23]. أَقْوَى Berarti lebih kuat [24].
Secara bahasa, A. Djazuli mengartikan kaidah tersebut
dengan “Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan
yang umum” [25].
Sedangkan makna kaidah secara istilah adalah bahwa
lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga yang umum
[26].
Suatu benda atau persoalan yang berada di bawah suatu kekuasaan, maka pemegang
kekuasaan yang khusus terhadap benda dan persoalan tersebut, kedudukannya dan
wewenangnya lebih kuat dari pada penguasa umum, sehingga penguasa umum tidak dapat
bertindak langsung terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa khusus [27].
Dalam fiqh siyasah, ada pembagian kekuasaan itu terus
berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam satu negara. Ada
khalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al-hai’ah al-tanfidziyah),
ada lembaga legislatif atau ahl al-aqdi (al-hai’ah al-tasyri’iyah), dan
lembaga yudikatif (al-hai’ah al-qadhaiyah), bahkan lembaga pengawasan (al-hai’ah
al-muraqabah) [28].
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib
berjuta-juta manusia. Oleh sebab itu menarik perhatian sosiologi, tetapi
sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang
baik atau buruk. Sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang sangat
penting dalam kehidupan suatu masyarakat, baik buruknya senantiasa harus diukur
dg kegunaannya untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (disadari) oleh
masyarakat.Kekuasaan ada pada setiap masyarakat, tetapi tidak terbagi secara
merata, makanya timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, dinamakan pemimpin, yang
menerima pengaruh adalah pengikut. Beda antara kekuasaan (power) dengan wewenang (authority atau
legalized power) ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi fihak lain
dapat dinamakan kekuasaan. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada
pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat.
Kekuasaan
umum adalah kekuasaan yang tidak dikhususkan dengan menguasai orang-orang
tertentu, tetapi, kekuasaan yang menguasai seluruh orang dan
kemaslahatan-kemaslahatan mereka. Dan adanya qaidah ini adalah sebagai dalil
diperbolehkannya kekuasaan yang lebih husus mengatur kekuasaannya sendiri, dan
juga kekuasaan umum agar tidak tersibukkan dengan mengurusi kekuasaan yang
lebih kecil sekala kesibukannya.
Kaidah ini hampir
mirip dengan teori atau Adagium,
yang
menyatakan lex specialis derogat legi generali (Undang-undang yang bersifat khusus
mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum). Menurut Bagir Manan dalam bukunya
yang berjudul Hukum Positif Indonesia
sebagaimana artikel yang ditulis A.A. Oka
Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
1.
Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama
dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan. [29]
Namun yang membedakan antara kaidah
dan teori tersebut adalah dalam kaidah
الوِلاَيَةُ
الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
terdapat prioritas kekuasaan khusus terhadap kekuasaan umum. Sedangkan dalam
teori lex specialis derogat legi generali terdapat pemisahan antara
kekuasaan khusus terhadap kekuasaan umum karena di dalamnya terdapat
pengecualian.
Syarat, Rukun dan
Dalil kaidah الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ
العَامَّةِ
Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam kaidah ini
adalah kebijakan yang diambil oleh penguasa khusus tidak boleh bertentangan
dengan maqasid as-syar’i, pemegang keputusan penguasa khusus lebih
profesional di bidangnya dan lebih tahu seluk beluk objek yang dipimpinnya
dibanding penguasa umum. pilihlah maslahah yang terbaik diantara maslahah yang
mungkin tercapai, tutuplah dan hindari kemudaratan yang mungkin terjadi,
mafsadat/mudarat yang lebih ringan lebih baik dari pada mafsadat yang berat.
Kebijakan pemimpin dalam kaidah ini pun setidaknya bisa menimbulkan kepastian
hukum bagi umatnya, sehingga perselisihan yang lebih besar dari perbedaan
pendapat bisa dihindari.
Rukun yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah
1.
Adanya kekuasaan umum
sebagai yang dipercaya umatnya atau kepanjangan tangan dari orang-orang yang
dipimpinnya.
2.
Adanya kekuasaan lebih
khusus yang ditempati oleh seseorang yang refresentatif di bidangnya.
3.
Adanya Kebijakan yang
diambil oleh kekuasaan khusus masih dalam koridor maqasid syar’i. Adanya
kemaslahatan yang akan dicapai, atau menghindari kemafsadatan yang lebih besar.
Dalil dari kaidah ini salah satunya adalah
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا
اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا
وَلِيَّ لَهُ
"Setiap perempuan
yang dinikahi tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal. Kalau ia dikumpuli (disetubuhi), maka baginya mahar, karena
suami telah menghalalkan farjinya jika ada pertengkaran-pertengkaran, maka
hakim adalah wali
bagi orang yang tidak mempunyai wali”. [30]
Maksud dari hadits ini
adalah Wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada wali hakim
atau hakim di lembaga peradilan agama, dan seterusnya. Sehingga wali nasab yang
mempunyai kekuasaan khusus lebih kuat daripada wali hakim atau hakim yang
mempunyai kekuasaan umum, walaupun pada level kekuasaan wali hakim dan lembaga
peradilan lebih tinggi kekuatannya.
Aplikasi kaidah الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ
العَامَّةِ
1.
Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada
gubernur;
2.
Wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari
pada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
3.
Hakim tidak dapat membelanjakan harta anak yatim yang
berada di bawah kekuasaan wali atau orang yang mendapatkan kepercayaan dari
ayah anak yatim tersebut, sebab wali atau orang tersebut yang mempunyai
kekuasaan khusus terhadap anak kecil tadi.
4.
Kesaksian seorang wanita yang menyaksikan proses
persalinan dalam perkara kedudukan nasab seorang anak kepada keluarganya, lebih
kuat dari pada kesaksian orang lain. Walaupun ia adalah seorang wanita, karena
ia ada dalam maqamnya sebagai seorang yang lebih berhak ada di posisi itu dari
pada laki-laki (selain si suami perempuan yang bersalin).
Penutup
Dari pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) di atas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan warganya,
dan membuat peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat warganya sehingga
menjadi lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu,
maka janganlah
ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan rakyat secara
semaksimal mungkin. Tentu saja pada
awalnya rakyatnya juga yang harus memilih atau menempatkan pemimpin baik.
Dibutuhkan para pemimpin yang adil dan bijaksana. Selanjutnya berjalannya roda
pemerintahan tidak bisa dilaksanakan hanya oleh seorang pemimpin, dibutuhkan
para pemimpin-pemimpin di level-level terbawah yang mengepalai bidang-bidang
tertentu yang diistilahkan sebagai kekuasaan khusus. Tempatkanlah orang yang tepat di posisi yang tepat sesuai
keahlian di bidangnya masing-masing.
Daftar Pustaka
A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4.
Abdul
Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II.
Adib
Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya; Pustaka Progressif, 1999).
Ahmad
Ibn Muhammad al-Hanafy al-Hamawy, غمز عيون البصائر في شرح الأشباه والنظائر , Maktabah
Syamila, 464-2.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI,
Jilid II, hal. 323
Dirjen Bimas Islam
& Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta;
DEPAG RI, 2001), hal. 32.
Muchlis Usman. MA, Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fikihiyah), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,2002
Ujang
Firmansyah, Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan Barang Tambang dalm
UU No. 11/1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Skripsi, (IAIN
SGD;Bandung, 2000), hal. 61
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006),
cet-4, hal. 147.
[5] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006),
cet-4, hal. 147.
[8]
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI,
Jilid II, hal. 323
[11] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 147.
[15] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006),
cet-4, hal. 148.
[18] Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; DEPAG RI, 2001), hal. 32.
[20] Ujang Firmansyah, Tinjauan
Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan Barang Tambang dalm UU No. 11/1967 Tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan, Skripsi, (IAIN SGD;Bandung, 2000), hal. 61
[22]
Adib Bisri, Munawwir AF., Kamus al-Bisri,(Surabaya;
Pustaka Progressif, 1999), hal. 787.
[23] Ahmad Ibn Muhammad al-Hanafy al-Hamawy, غمز عيون البصائر في
شرح الأشباه والنظائر , Maktabah Syamila,
464-2.
[25] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, hal. 150.
[29]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis
Terima kasih, sangat bermanfaat😃
BalasHapusKak tolong jelaskan pengecualian dari kaidah yang ke 2
BalasHapus